MATERI DAN TEORI ETIKA BISNIS
oleh cittcit pada 16 Oktober 2011
PENGERTIAN
Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” yang berarti
adat, akhlak, waktu perasaan, sikap dan cara berfikir atau
adat-istiadat. Etik adalah suatu studi mengenai yang benar dan yang
salah dan pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Etika adalah
tuntutan mengenai perilaku, sikap dan tindakan yang diakui, sehubungan
suatu jenis kegiatan manusia. Etika bisnis merupakan penerapan tanggung
jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri.
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah
cara-carauntuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek
yangberkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil
(fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak
tergantungpada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan
merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal
ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan
transaksi dan kegiatan yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Tidak ada cara yang paling baik untuk
memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan
mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk
menerapkan etika ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company dalam
menangani masalah “river blindness” sebagai contohnya ; River blindness
adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk
miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika
Latin. Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh
melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan
bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut
microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di
bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan
gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang
memutuskan bunuh diri. Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan
peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan
bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari
perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river
blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada
Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka
mengembangkan obat tersebut untuk manusia. Para manajer Merck sadar
bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river
blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan
tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan
lebih dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak
mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah
terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk
akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia,
obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga
menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini
menguntungkan. Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun,
namun pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan
masalah lainnya, termasuk kongres USA yang siap mengesahkan
Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan
perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek
mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk riverblindness.
Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan
menyakitkan. Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan
bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu
signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral
perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis yang kecil.
Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan
banyak percobaan klinis, Merck berhasil membuat pil obat baru yang
dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab
river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau
membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS
dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau
membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini,
tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan
memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran
distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan.
Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk
mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan
memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk
hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang,
yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat
sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut. Merck
menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan
obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan
etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan
mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang
akan dating. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan
semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.
Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah
kontradiksi istilah karena ada pertentangan antara etika dan minat
pribadi yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada konflik
antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan daripada
etika. Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis
merupakan strategi bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan –
sebuah pandangan yang semakin diterima dalam beberapa tahun belakangan
ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki
beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah laku
yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih
penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan
dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika
adalah semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil
penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subjek.
A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki
individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan
jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai
jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan
nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara
moral baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan
kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral
biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan
objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu
baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap
ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan
seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
- Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan
merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
- Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu.
- Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan diri.
- Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
- Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan
standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai
konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas,
melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah
dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami
standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan
bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah
standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah
didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral,
proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan
apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam
situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah
mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk
dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang
tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang
didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba
mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral
yang baik dan jahat.
C. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang
dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar
formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan
organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan
mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang
ada di dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti
tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban diterapkan terhadap
kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai
perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan yang muncul atas masalah
ini :
- Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena
aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan
bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang
disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka
bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan
mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama
yang dilakukan manusia.
- Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak
masuk akal berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung
jawab karena ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa
organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti
mesin yang anggotanya harus secara membabi buta mentaati peraturan
formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak
masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral
karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi
seperti mesin yang gagal bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal
dari pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang
harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab
moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari
pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru,
kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh
individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral,
hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak
secara bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi
seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi serta sosial negara-negara
menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barangbarang, jasa,
modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan
saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai
beberapa komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan
dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system
transportasi seperti internet dan pelayaran global, perkembangan
organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain
sebagainya. Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi
dan bertanggung jawab dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa
ini. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang bergerak di bidang
yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi administrasi di beberapa
negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang
berbeda. Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara
dengan ragam budaya dan standar yang berbeda, banyak klaim yang
menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar norma dan standar yang
seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa,
karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda.
Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung kepada
pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah
pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan
yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap perusahaan atau orang
dari semua masyarakat. Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu
mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana
dia berada. Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang
berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh
anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung
dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif. Relativisme etis
mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan moral
yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan
keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan
standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi yang berkembang di akhir dekade
abad ke-20 mentransformasi masyarakat dan bisnis, dan menciptakan
potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah revolusi dalam
bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa
perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan
hilangnya jarak, kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang
keuntungan dan resikonya tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini,
organisasi bisnis berhadapan dengan setumpuk persoalan etis baru yang
menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa,
perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat
anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang
salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi
remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan.
Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga,
teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang
rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan secara
kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang
lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai
menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap
diri sendiri. Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya
selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3
level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan
moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah
sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat
merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan
label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan
atau keburukan tindakan itu. Alasan anak
untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau
menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan
Relativitas Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat
berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri
atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya
berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok
beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari
sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik
dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagaipelaku yang baik dalam
pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional
yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau
masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak
sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi
secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya. Dia justru
berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum
dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam
pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi
secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk
menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak
Sosial Tahap ini, seseoranmenjadi sadar bahwa mempunyai beragam
pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara
yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan
proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative,
dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar
didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena
komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap
prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk
mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami
bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana
kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan
memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang
mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal
sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap
prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam
pengertian egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang
dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai
tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah
selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka
atau hukum negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang
mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif
dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah
secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang
mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan
memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses
penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau
melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua komponen
mendasar :
- Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal
- Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan,
institusi, atau prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang
menuntut, melarang menilai, atau menyalahkan
- Menganalisis Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :
- Penalaran moral harus logis.
- Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
- Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan
standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas
keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan
berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Tiga
keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata
mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis
mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya
perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk
mendukung perusahaan ini : Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar
bebas kompetitif sempurna, pencarian keuntungan dengan sendirinya
menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang
paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing
perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota
masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang
tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer tidak
memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya pada
pencarian keuntungan yang berfokus. Argumen tersebut menyembunyikan
sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar industri tidak
”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus
berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi
tidak efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun
yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara
sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk
meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan :
membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi,
penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan
bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli,
perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota
masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat
(yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena
mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat, argumen itu
secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan
bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan perusahaan
mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales
disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara
sederhana adalah sbb : Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer
mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin
dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen). Majikan ingin dilayani
dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya sendiri. Dengan
demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan
memajukan kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru,
karena ”dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal
atau tidak… etika bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan
”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk
tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan
demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi
oleh batasanbatasan moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi
orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum : Etika bisnis pada dasarnya
adalah mentaati hukum. Terkadang kita salah memandang hukum dan etika
terlihat identik. Benar bahwa hukum tertentu menuntut perilaku yang sama
yang juga dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral
tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas,
bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan
moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita
memperlakukan budak sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu
saja mengikuti hukum. Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan
dengan hukum. Standar Moral kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika
kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan
kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika
jelas-jelas melanggar standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis
dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua aktivitas manusia yang
disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia yang
disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain
berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia
lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan
komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis
merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku
etis. Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes,
ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan
menciptakan ”perang antar manusia terhadap manusia lain”, dan dalam
situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan dangkal”.
Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan
aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat
bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama
adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga
masyarakat luas. Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan
menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam
mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang
sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara
spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa. Apakah
ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan
dapripada perusahaan lainnya ? Beberapa studi menunjukan hubungan yang
positif antara perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan
profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis
merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh
pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi
menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan,
dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan. Dalam jangka panjang,
untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari pada
tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun
perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi
kekalahan karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama
dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan
disnis sangat bergantung. Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak
bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan
menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan
menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang
dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka
untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan
menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan
tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa
organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang
dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif. Dengan demikian,
ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika
hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang
bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan kesalahan? Seseorang
secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan
yang telah diketahui ;
- Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
- Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru
karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan
atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua
kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang
karena menyebabkan kerugian ;
- Ketidaktahuan
- Ketidakmampuan
Keduanya disebut kondisi yang memaafkan
karena sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung jawab terhadap sesuatu.
Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat menghindari apa yang
dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia bebas dan
tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan
ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu
pengecualiannya adalah ketika seseorang mungkin secara sengaja,
membiarkan dirinya tidak mau mengetahui persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan
eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau
tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan
kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk
bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat
bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga
mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi
tanggung jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk
melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia
kendalikan. Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat
mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru
menyalahkan orang itu. Sebagai tambahan atas dua kondisi yang
memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya
menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga
beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral
seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang
memperingan mencakup :
- Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga
tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut
mempengaruhi pengetahuan seseorang)
- Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
- Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan
keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan
sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)
Hal tersebut dapat memperingan tanggung
jawab seseorang karena kelakuan yang keliru yang tergantung pada faktor
keempat, yaitu keseriusan kesalahan. Kesimpulan mendasar tentang
tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang memperingan
tanggung jawab moral seseorang yaitu :
- Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah
yang dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas
efek-efek kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika
itu dilakukan dengan bebas dan sadar.
- Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
- Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
- Ketidak pastian
- Kesulitan Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak
memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah
kesalahan), namun cakupan sejauh mana halhal tersebut memperingan
tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau
kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor
pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua
faktor yang meringankan itu benar-benar mempengaruhi tanggung jawab
seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak pernah diterima,
tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain
berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak
berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
- Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab
atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak
yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan
atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan
atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan.
Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan
bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa
mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan
perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab. Lain halnya
pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak
bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai
tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan
tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas
tindakan tersebut. Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita
kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal
tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan
itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam
tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan
perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan
sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk
menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan.
Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak
harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan
yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau
tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan
ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi
berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang
itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering
bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan biasanya
memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang
lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral
ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan
yang mereka ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika
seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia
dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu. Hanya atasan
yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru,
karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak
secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang
salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada
batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang
karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan
apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan
memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan yang
mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas
tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara
moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan
tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
- Dasar Etika adalah Moral
Apa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya adalah :
- Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
- Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa
yang benar dan apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang
jahat.” Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita
percaya secara moral benar atau salah.”
- Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan
tertentu.” Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan
tindakan individu-individu di dalamnya. Maka individu-individu tadi yang
harus dilihat sebagai penghalang dan pelaksana utama dari tugas moral,
tanggung jawab moral perusahaan. Individu-individu manusia tadi
bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh perusahaan, karena
tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan
prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas
moral untuk melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai
tanggung jawab moral untuk melakukan sesuatu.
- Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar
dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis, universality dan
konsistensi. Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ
disebut anggukan universal yang mengacu kepada God Spot.
- Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s,
Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari reserved account ke “income”.
Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan dolar biaya operasi
sebagai “capital expenditure”. Dia bisa melakukan ini dengan bantuan
firm accounting dan auditor terkenal “Arthur Andersen”. Padahal Scott
Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh CFO Magazine
tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune
menjuluki Enron sebagai perusahaan paling innovative di Amerika “Most
Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan di Amerika. Enam
bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut. Kejadian ini
dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas
ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron
kehilangan US$ 70 Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun
menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan
celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow, Chief Financial officer
bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen, memanfaatkan celah di
bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose entity”,
karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak
melaporkan keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham
independent dengan nilai minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi,
kemudian meminjam uang ke bank dengan menggunakan jaminan saham Enron.
Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas,
dapat diamati bahwa walaupun sudah ada aturan yang jelas mengatur system
accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi tidak bermoral dan
tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada
untuk kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah
tempat kelahiran Islam, yang menggunakan landasan Islam Suni sebagai
hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab Saudi tidak
dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi,
tidak ada kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal
peradilan dengan system juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan
diskriminasi terhadap wanita. Sehingga menurut Velasquez, di Arab Saudi
tidak mengenal hak azazi manusia.
BAHASAN
Velasquez menyatakan, Arab Saudi adalah
contoh Etika Islam, dengan alasan sederhana karena Islam lahir disana.
Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen dan Yahudi juga tidak lahir di Eropa
atau di Amerika. Dia mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi bukan merupakan penggambaran negara Islam yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat
penerusnya dikenal istilah demokrasi dan kebebasan beragama.
CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
- Pelanggaran etika bisnis terhadap hokum
Sebuah perusahaan X karena kondisi
perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk Melakukan PHK kepada
karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak
memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan
melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan
pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah mengenakan
biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan sekolah
ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping
itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang
itu kepada wali murid. Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru
memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian
seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat
dikategorikan melanggar prinsip transparansi
- Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus
mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara
otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan
di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena
menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur,
sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan
Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi
mengenai kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan
mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan
melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja
melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan
perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon
TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke
negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa
segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka
tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran
tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta
untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun
tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu
berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat
disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip
pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang
seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di
Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer
kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik
perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya
membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan
tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak
dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di
Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini
yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen
lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya.
Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi
konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin
pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property tersebut telah
melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak
stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman
membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun
sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan
spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya,
perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan
tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak
perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran
karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama
dengan perusahaan pengembang
- Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari
perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal
jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada
pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak
mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo
pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan
menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis
kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak
perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati pada nasabah
karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada
nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
Sumber :
https://cittcit.wordpress.com/2011/10/16/materi-dan-teori-etika-bisnis/